SINERGI INDONESIA – Kampus SMA Kolese de Britto terang-benderang malam ini, Senin (16/10). Delapan ratusan orang muda duduk bersila tanpa alas di aula sekolah, di pojok barat laut kampus Demangan. Belum saling bertemu mereka sebelumnya namun mereka sudah sama-sama mengenal satu idiom: spiritualitas Ignatian.
Malam ini pembukaan Temu Kolese 2023. Akan sampai 20 Oktober mereka di sini.
Di panggung, menghadap ke selatan, tuan rumah menyambut. Tak lagi muda dia tapi dia tahu bagaimana menyambut orang muda. Ia Pater C Kuntoro Adi SJ, Rektor Kolese de Britto yang juga ketua yayasan yang menaungi sekolah khusus laki-laki di Yogyakarta ini. Darinya meluncur pesan pendek dan menukik tentang prinsip dan habitus temu kolese. Untuk tidak puas dengan yang di permukaan. Untuk mau masuk ke kedalaman.
Baca juga Malam Ekspresi FIAT LUX Puncaki Lustrum XV SMA Kolese de Britto, Terbuka Untuk Umum
Tahu, pembeda pendidikan di kolese dengan di luar adalah aspek kedalaman, mereka sudah kenal dan sudah menjalani dalam keseharian. Tradisi berpikir dan berefleksi adalah keseharian di sekolah kolese.
Tidak tahu, esok mereka akan dibawa ke kedalaman apa. Meski jadwal acara dicantumkan secara jelas di buku panduan, namun mereka tidak tahu persis apa pengalaman yang bakal mereka temui. Yang mereka tahu, ketika ditanya, “Apa perasaan kalian sekarang tentang acara besok?” ada yang menjawab senang, antusias, juga cemas.
Lanjut pengantar immersion dari Pater Setyo Darmono, SJ. “Guru terbaik konon bernama pengalaman. Tapi pengalaman saja tidak cukup jika tidak direfleksikan,” ia menembak anak-anak muda itu dengan pernyataan yang menohok. Anak-anak muda itu tahu sekaligus tidak tahu apa yang dimaksud Pater Nano—panggilannya.
Ini pembeda temu kolese 2023 ini dari temu kolese sebelum-sebelumnya. Ada immersion. Langsung di malam pertama sesudah pembukaan mereka diajak ke “puncak” temu kolese. “Immersion itu menyatu dengan realitas yang dimasuki,” ujarnya sembari menunjukkan di layar gambar pelukis yang menyatu dengan lukisannya.
Immersion ini berangkat dari pengalaman Kolese de Britto yang sudah menerapkan metode “live in” lebih panjang sebagai proses membenamkan siswa kepada realitas dan kemudian menggandeng mereka untuk mentas merefleksikan. Immersion merupakan pembumian dari topik temu kolese 2023 “to be friend with the poor” dengan metode “see-judge-act”.
Dalam pengantarnya kepada guru-guru pendamping, Pak Arintoko menjelaskan bagaimana mekanisme immersion hingga kemudian siswa membuat refleksi. Di lapangan basket indoor, lewat dari pukul 22.00 wib, Pak Arintoko sampaikan, “Besok ada peserta yang kita bangunkan pukul 01.00. pukul 02.00 sudah kita berangkatkan ke lokasi. Pukul 03.00 sudah sampai di lokasi dan siswa langsung diusung naik truk menuju lokasi penambangan pasir di lereng Merapi. Pendamping sampai di sini saja.”
Saya melihat dari dekat wajah guru-guru pendamping itu. Antara antusias dengan bingung. Antusias, tampak dari bagaimana mereka masih duduk tegak di lantai mendengarkan arahan. Bingung, terasa dari pertanyaan-pertanyaan teknis yang diajukan.
Pak Arintoko menjawab, “Nanti sampai di sana saja. Bapak-Ibu tunggu di situ sampai anak-anak kembali.” Itu jawaban tentang bagaimana immersion dilangsungkan di lokasi penambangan pasir di Kabupaten Magelang.
Belum berhenti di situ. Seperti menaikkan ketegangan, Pak Arintoko sengaja menegaskan ini. “Kita nanti akan naik bus pedesaan yang tidak ada AC-nya. Lokasi tujuan juga hanya pak sopir yang tahu.” Lanjutnya, “Ini bukan mengada-ada pakai bus yang seperti itu. Ini yang biasa dilakukan di De Britto.”
Baca juga Temu Kolese 2023 (2): Immersion, Metode Meneguhkan Lewat Mengguncangkan
Sementara guru mendapatkan pengantar di lapangan basket, di aula siswa mendapatkan pembingkaian dari Pater Nano SJ. Bercelana pendek dan berkaus, pembimbing spiritualitas Ignatian di Rumah Retret Sangkal Putung-Klaten ini tampak menyesuaikan dengan jiwa dan cara pandang siswa.
Pater Nano menjelaskan peran immersion supaya siswa tidak terjebak dalam prasangka. Gunakan lima indera, katanya. Lihat, dengar, cium, rasakan, dan sentuh. Di layar ia tampilkan itu. Selaras dengan pesan Pater Kun di pembukaan.
“Siapa yang mendapatkan lokasi di Parangkusumo?” tanyanya. Sontak peserta bergemuruh. Riuh. Ini karena subjek perjumpaan mereka adalah pekerja seks komersial. Namun, gemuruh itu bukan gemuruh menelanjangi. Ada nada yang tertahan, “Siapakah aku ini mengadili sesamaku?”
Jangan buru-buru mengadili. Bahkan, jangan mengadili. Datang, berbincang, dan dengarkan. Pater Nano menambahkan pesan, “Catat 10 kosakata khas di tempatmu immersion.” Ya, immersion itu hadir, menyerap, dan menimba.
“Sepulang dari sana, refleksikan. Apa yang direfleksikan? Yakni, sesuatu yang berdaya ubah bagimu,” tandas Pater Nano.(AA Kunto A/Sinergi Indonesia)