SINERGI INDONESIA – Pengumuman tersebut disampaikan Perdana Menteri Belanda Mark Rutte di parlemen pada Rabu (14/6) menanggapi pertanyaan anggota parlemen dari Partai GroenLinks terkait pengakuan kemerdekaan Indonesia.
Rutte berjanji akan berkonsultasi dengan Presiden RI Joko Widodo untuk mencapai kesepahaman terkait Hari Kemerdekaan.
Baca juga Pancasila, Lahir Sebagai Ideologi yang Menavigasi Indonesia Sebagai Bangsa Beragam dan Bersatu
“Kami mengakui sepenuhnya zonder voorbehoud 17 Agustus [tanpa syarat]. Saya akan terus mencari jalan keluar bersama Presiden Joko Widodo untuk menemukan jalan terbaik yang dapat diterima oleh kedua belah pihak,” kata PM Rutte seperti dikutip media Historia.
Presiden pertama Republik Indonesia, Sukarno, memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, setelah Jepang menyerah dalam Perang Dunia II. Namun, pemerintah Belanda tidak pernah secara resmi mengakui momen tersebut.
Antara tahun 1945 dan 1949, Belanda malah melancarkan perang untuk merebut kembali kendali atas Indonesia.
Pada tahun 2005, Menteri Luar Negeri Belanda saat itu, Ben Bot, menyatakan bahwa kemerdekaan Indonesia telah dimulai secara “de facto” pada tahun 1945, namun Belanda secara resmi mengakui pada tanggal 27 Desember 1949, ketika Belanda mengakui kedaulatan Indonesia sebagai hasil dari Putaran tersebut. Konferensi Meja di Den Haag.
Permintaan maaf
Pengakuan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 oleh Perdana Menteri Belanda Mark Rutte terungkap saat menghadiri debat hasil penelitian dekolonisasi di parlemen Belanda.
Lima belas anggota DPR, masing-masing mewakili partainya masing-masing, menyuarakan keprihatinannya terhadap setidaknya tiga isu terkait penelitian berjudul “Kemerdekaan, Dekolonisasi, Kekerasan, dan Perang di Indonesia, 1945-1950”. Hasil penelitian yang dipublikasikan oleh tiga lembaga Belanda pada pertengahan Februari 2022 menyebutkan adanya kekerasan ekstrem terstruktur yang dilakukan oleh militer Belanda.
Pertama, persoalan aspek hukum. Penelitian tersebut cenderung menggunakan istilah “kekerasan ekstrem” daripada “kejahatan perang”.
Kedua, persoalan tanggung jawab dan permintaan maaf pemerintah kepada para korban dan veteran Belanda itu sendiri.
Pada tahun 2005, Menteri Luar Negeri Belanda saat itu, Ben Bot, menyatakan bahwa kemerdekaan Indonesia telah dimulai secara “de facto” pada tahun 1945, namun Belanda secara resmi mengakui pada tanggal 27 Desember 1949, ketika Belanda mengakui kedaulatan Indonesia sebagai hasil dari Putaran tersebut. Konferensi Meja di Den Haag.
Ketiga, masalah kompensasi dan rehabilitasi bagi veteran perang yang dianggap sebagai penjahat perang.
PM Rutte didampingi Menteri Luar Negeri, Wopke Hoekstra, dan Menteri Pertahanan, Kajsa Ollongren mengeluarkan pernyataan permintaan maaf atas terjadinya kekerasan ekstrem.
Baca juga Ganjar Pranowo Kunjungi Museum Ini di Banten, Siapakah Multatuli?
Rutte tetap bersikeras menyebutnya sebagai kekerasan ekstrem alih-alih kejahatan perang, berdasarkan Konvensi Jenewa 1949.
“Masa kekerasan terjadi sebelum Konvensi Jenewa. Dari segi legalitas, kami tidak setuju bahwa itu adalah kejahatan perang. Secara moral ya, tapi tidak secara hukum,” tegas Rutte.
Rutte sebelumnya mengeluarkan permintaan maaf pada 17 Februari 2022.(AA Kunto A/Sinergi Indonesia)